Pemimpin yang Pemimpi
Sejumlah tokoh agama beberapa waktu lalu 'bersabda' bahwa pemimpin atau pemerintah negeri ini telah banyak membohongi rakyat. Kritik tajam yang membuat presiden gerah dan bereaksi. Salah satu reaksinya ditunjukkan dengan mengeluarkan instruksi yang meminta aparat penegak hukum memaksimalkan kinerjanya dalam penanganan kasus Gayus dan Century.
Reaksi sang pemimpin ini tentu saja seperti akan menghadirkan atmosfer pembaruan di ranah penegakan hukum, meski rakyat secara umum meragukannya, benarkah dengan instruksi ini, impian rakyat tentang keadilan, kejujuran, egalitarianisme, dan nilai-nilai agung bisa terwujud di negara ini?
"Bila seseorang melangkah maju dengan penuh rasa percaya diri untuk meraih mimpinya dan berusaha untuk menjalani hidup yang ia impikan, ia akan menuai keberhasilan yang tak terduga pada saat yang tak terduga pula," demikian Henry Davis Thoreau mengingatkan bahwa setiap orang, apalagi sang pemimpin itu punya impian, memiliki angan-angan, atau hasrat untuk mendapatkan sesuatu. Di dalam pikirannya bisa saja melayang-layang, menari-nari, atau 'berselancar' impian melambung tinggi, mencapai titik tertentu, mendapatkan derajat, menuai pangkat, dan berhasil merebut apa yang sudah lama didambakannya.
Logis pula kalau SBY dan mesin-mesin kekuasaannya 'menjual' mimpi kepada rakyat negeri ini. Pasalnya, mereka memang menempati posisi strategis yang bisa melukis masa depan bangsa (rakyat). Apa saja jenis kinerja yang diberikan kepada rakyat bisa diproduksi dan disejarahkannya.
Kalau kemudian sampai kini dalam kepemimpinan SBY di negara ini ternyata hasil kinerjanya tidak sejalan dengan mimpi besar yang dijanjikan kepada rakyat, berarti kinerjanya tidak berjalan maksimal atau masih setengah hati. Artinya, mereka belum berhasil menunjukkan peran fundamentalnya untuk memberi yang terbaik kepada rakyat. Sebaliknya, rakyat masih disuguhi 'menu' konflik dan pertarungan eksklusif elemen negara yang semakin lama hanya mempertontonkan dagelan dan akrobat elite tak beretika.
SBY dan mesin-mesin kekuasaannya yang pernah menabur mimpi di awal memimpin negeri ini sejatinya punya konsekuensi untuk mewujudkannya dalam kenyataan. Mereka punya tanggung jawab besar untuk memproduksi dan mengaplikasikan kebijakan strukturalnya yang memanusiakan atau menghadirkan keadaban, kesejahteraan, keselamatan, dan keadilan.
Rakyat yang diberi mimpi tentunya tidak ingin jadi pemimpi terus-menerus. Dalam kehidupan yang dijalaninya, rakyat membutuhkan hasil, prestasi, reputasi, atau apa yang bisa memuaskan dan dirasakan secara konkret, biologis dan psikologisnya. Di bawah rezim SBY ini pun, rakyat yang diberi mimpi ibarat sudah diberi janji besar untuk meniti sejarah baru dalam kehidupannya.
Rakyat yang sudah diberi mimpi oleh rezim SBY dan mesin-mesin kekuasaannya itu, idealnya, memang tidak jadi pemimpi terus-menerus. Rakyat harus keluar dari zona dunia fatamorgana yang membius mereka. Rakyat tidak boleh hanya menunggu hasil kinerja SBY dan mesin-mesin kekuasaannya yang belum maksimal, tetapi harus mengawalnya secara militan, atau mengingatkannya kalau rezim ini bukan tampilan king can do no wrong.
Rakyat sah-sah saja merindukan kecemerlangan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup yang dijanjikan akan dibuktikan negara (SBY). Namun, cita-cita besar ini harus dikritisi supaya tidak membuai dan membuatnya lambat laun terkerangkeng dalam virus amnesia.
Idealnya, kalau sudah punya impian meraih sesuatu yang bernilai dalam hidupnya, seharusnya impian ini diperjuangkan secara maksimal dan militan supaya terwujud. Begitu ada keinginan kuat untuk memperoleh yang dicita-citakan, segenap kemampuannya secara fisik dan rasio seharusnya disatukan menjadi kekuatan besar untuk menjembataninya.
Bangsa ini sudah terkenal sebagai pemimpi yang muluk-muluk, misalnya ingin menjadi salah satu 'naga' di kawasan Asia. Akan tetapi hingga sejauh ini, usaha untuk mewujudkan impian demikian kurang maksimal. Hasrat besar bangsa untuk memperoleh kemajuan di bidang ekonomi seperti Singapura, Jepang, dan China, barangkali tinggal menjadi hasrat kosong sebagai bangsa pemimpi kosong. Pasalnya, pemimpinnya tidak memberi teladan sebagai pemimpin yang pekerja dan militan.
"Ada risiko yang tidak bisa kita hindari jika kita melangkah, tetapi lebih berisiko lagi kalau kita tidak melangkah ke mana pun," demikian ungkap Peter Drucker menyikapi atau memaknai langkah yang dilakukan manusia yang berambisi pada kemajuan dan progresivitas.
Ungkapan Drucker tersebut jelas menunjukkan tiga unsur strategis. Pertama, manusia, kedua, melangkah, dan ketiga, risiko. Dalam hidup ini, ketiga unsur (manusia, melangkah, dan risiko) utama ini merupakan potret realitas di kehidupan jagat raya yang tidak sulit ditemukan.
Dalam langkah yang diayunkan atau digerakkan manusia ini, apalagi menempati strata elite seperti SBY dan mesin-mesin kekuasaannya, bukan tidak mungkin akan mendatangkan risiko besar dan kecil. Setiap aktivitas atau langkah yang dimainkannya tidak ada jaminan bahwa kegiatan ini tidak mendatangkan risiko.
Meski setiap langkah yang diayunkan itu mengandung risiko kecil dan besar, bagi sosok pemimpin yang menempatkan kemungkinan terjadinya risiko sebagai tantangan logisnya, maka sosok demikian akan terbentuk kepribadiannya menjadi pejuang, pembangun, atau pembaru. Mereka akan terbentuk menjadi sosok yang kuat, tahan uji, dan bahkan survive, meski berkali-kali menghadapi risiko dari apa yang diperbuatnya.
Adanya problem yang terjadi dan berkembang biak di tengah masyarakat atau dalam kehidupan pemerintahan, tidaklah mungkin diserahkan penyelesaiannya kepada seseorang yang takut menghadapi risiko seperti diancam ditembak, didemo besar-besaran, atau 'dilawan' kelompok kritis (tokoh-tokoh agama atau lainnya). Pasalnya, dalam seseorang yang demikian ini menggumpal perasaan takut bersalah, takut gagal, takut dilecehkan, takut dihina, takut kehilangan karisma, takut kehilangan konstituen, atau takut apa yang diperbuat tidak mencerminkan diri sebagai pejuang.
Sikap atau mental takut menghadapi risiko tidaklah layak dimiliki seseorang yang berobsesi pada pembaruan dan terwujudnya perbaikan kehidupan umat. Sikap takut demikian akan membuat seseorang lebih banyak ragu-ragu dalam melangkah, terbebani oleh bayang-bayang kegagalan, atau merasa tidak bisa berbuat banyak sesuai dengan panggilan kemaslahatan umat.
Kalau watak ketakutan seperti itu yang dipelihara atau tidak dilawan oleh seseorang berposisi top elitis negara, seseorang ini akan sulit menjadi pelaku sejarah yang berguna bagi masyarakat atau lingkungannya.
Ketakutan berlebihan akan membuatnya memilih mencari aman, selamat, atau membebaskan diri dari kemungkinan terkena problem besar.
Ketakutan akhirnya menjadi semacam virus psikologis kepemimpinan yang menempatkan dirinya menjadi sosok pemimpin tidak militan, tidak kreatif, kecil nyali melawan risiko, dan tereduksi jiwa nasionalisme, atau menjadi semakin jauh dari konstruksi 'keluarga wong cilik'.
Oleh Misranto
Rektor Universitas Merdeka, Pasuruan
Kamis, 10 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar